Anomali Penghitungan Suara dalam Pemilu 2024

Anomali Penghitungan SuaraPemilihan Umum 2024 di Indonesia menjadi sorotan publik setelah munculnya anomali dalam penghitungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sistem elektronik yang diterapkan, terutama melalui teknologi Optical Character Recognition (OCR) dan Optical Mark Reader (OMR), menunjukkan perbedaan antara hasil real count dari formulir C1 dengan data tabulasi pada situs web resmi KPU. Anomali ini menimbulkan kekhawatiran akan validitas dan keamanan data hasil pemilihan umum.

Penggunaan teknologi OCR dalam pemilu kali ini merupakan langkah menuju efisiensi dan kecepatan dalam pengolahan data suara. Sistem ini berfungsi memindai gambar formulir C1, yang berisi hasil perhitungan suara dari setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS), menjadi teks elektronik. Sejalan dengan itu, OMR digunakan untuk membaca tanda bulatan pensil pada formulir tersebut dan mengonversinya ke dalam bentuk data elektronik. Dengan konsep ini, KPU berharap dapat menyajikan hasil pemilu secara lebih cepat dan efektif.

Namun, nyatanya, implementasi teknologi ini menemui sejumlah tantangan yang signifikan. Hasil real count dari formulir C1 menunjukkan ketidaksesuaian dengan data tabulasi pada situs web resmi KPU, yakni sirekap-web.kpu.go.id dan pemilu2024.kupu.go.id. Seiring dengan itu, publik dihebohkan dengan perbedaan penjumlahan suara yang mencolok, menciptakan keraguan akan integritas sistem elektronik KPU.

Dikutip dari Antaranews, para ahli IT seperti Ketua Cyberity Arif Kurniawan dan pakar telematika Roy Suryo melakukan riset dan investigasi terhadap kedua situs web KPU. Temuan mereka menyoroti beberapa masalah krusial dalam sistem IT KPU, yang dianggap masih belum matang dalam memastikan validitas dan keamanan data.

Teknologi OCR dan OMR sebagai Tulang Punggung Sistem Elektronik

Teknologi OCR, yang berperan dalam memindai gambar formulir C1 menjadi teks elektronik, merupakan salah satu elemen kunci dalam sistem rekapitulasi elektronik atau e-Rekap yang diterapkan KPU pada Pemilu 2024. Sistem ini memungkinkan pengolahan data secara otomatis tanpa melibatkan input manual, yang seharusnya dapat meningkatkan akurasi dan kecepatan dalam menyajikan hasil pemilu.

Baca Juga  Prof Eddy Tersangka Gratifikasi: Perkembangan Terbaru Kasus yang Mencuatkan Nama Jessica Wongso

Di sisi lain, OMR berfungsi membaca tanda bulatan pensil pada formulir C1 dan mengubahnya menjadi data elektronik. Pendekatan ini dirancang untuk mempercepat proses pengolahan suara di tingkat nasional, mengurangi kemungkinan kesalahan manusia, dan memberikan transparansi lebih dalam pengumuman hasil pemilihan umum.

Kelemahan Sistem Elektronik KPU: Keamanan dan Lokasi Server

Meski konsep teknologi ini terdengar canggih, pada kenyataannya, implementasinya menemui sejumlah tantangan yang memicu kontroversi dan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Arif Kurniawan mengungkapkan temuannya terkait lokasi server KPU yang berada di luar Indonesia. Server tersebut menggunakan layanan cloud dari Alibaba Cloud dengan lokasi server di RRC, Perancis, dan Singapura.

Kekhawatiran terhadap lokasi server ini timbul karena data sensitif seperti hasil pemilu seharusnya tetap berada di wilayah Indonesia, sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku. Penggunaan layanan cloud Alibaba yang umumnya digunakan untuk e-commerce meningkatkan risiko kebocoran data atau gangguan server, yang dapat mengancam integritas data pemilu.

Roy Suryo juga turut menyoroti masalah ini, menekankan bahwa server Sirekap terhubung dengan Alibaba Cloud yang umumnya digunakan untuk kebutuhan e-commerce, bukan untuk keamanan data pemilu. Hal ini membuka peluang risiko keamanan data dan gangguan teknis yang dapat mengganggu proses penghitungan suara dan pengumuman hasil pemilu.

KPU Akui Kesalahan dalam Pembacaan OCR dan OMR

Dalam menghadapi temuan kejanggalan ini, KPU akhirnya memberikan klarifikasi dan mengakui adanya kesalahan dalam pembacaan OCR dokumen C1. Pembacaan yang tidak akurat ini terjadi pada beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS), menyebabkan perbedaan antara hasil real count dan data tabulasi pada situs web KPU.

Namun, hingga saat ini, belum ada hasil audit keamanan sistem yang diperlihatkan oleh KPU. Roy Suryo menyoroti ketidaktransparan dalam menangani temuan kejanggalan ini, mengungkapkan bahwa KPU belum menunjukkan niat untuk memperbaiki sistem IT mereka yang rentan terhadap kesalahan teknis.

Baca Juga  Luhut Sebut Orang Luar Jawa Masih Mustahil Jadi Presiden

“Ironisnya KPU tak bisa memanfaatkan secara maksimal, bahkan bisa dibilang asal-asalan dan menimbulkan banyak kesalahan teknis,” ujar Roy Suryo. Kritik ini menyoroti kebutuhan mendesak akan peningkatan kualitas dan keamanan sistem elektronik yang digunakan dalam pemilihan umum.

Respons dan Tantangan yang Dihadapi KPU

Ketua KPU, Betty Epsilon Idroos, membantah klaim bahwa server Sirekap terhubung dengan Alibaba di Singapura. Meski menyatakan bahwa server tersebut berada di Indonesia, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai IP address yang terhubung dengan Alibaba. Tanggapan ini belum sepenuhnya meyakinkan masyarakat, dan pertanyaan terkait keamanan data masih menjadi perhatian utama.

Dalam menghadapi permasalahan ini, para ahli dan masyarakat meminta KPU untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem elektronik mereka. Hasil audit keamanan sistem dan transparansi perlindungan data kepada publik menjadi tuntutan mendesak agar integritas pemilu tetap terjaga. Uji publik yang melibatkan semua daerah diharapkan dapat memastikan keandalan sistem elektronik KPU dan merestorasi kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi negara.

Anomali dalam penghitungan suara Pemilu 2024 menggambarkan tantangan dalam penerapan sistem elektronik oleh KPU. Teknologi OCR dan OMR, yang seharusnya menjadi solusi untuk meningkatkan efisiensi, malah menimbulkan perbedaan yang mencolok dan ketidakpastian terhadap keamanan data. Kekhawatiran akan lokasi server dan kejanggalan sistem IT KPU menjadi sorotan utama, menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh dan peningkatan dalam penerapan teknologi dalam proses demokrasi negara.

KPU perlu memberikan klarifikasi yang lebih mendalam, melibatkan ahli IT, dan mengedepankan transparansi dalam menanggapi isu keamanan dan validitas data. Tantangan ini menjadi panggilan bagi otoritas terkait untuk terus meningkatkan kualitas, keamanan, dan keandalan teknologi yang digunakan dalam pemilihan umum, menjaga integritas demokrasi Indonesia.

Komentar